Kode Etik Bagi Pengguna Jalan
Mukaddimah
Duduk-duduk
di pinggir-pinggir jalan sambil nongkrong, mengobrol atau makan dan minum sudah
menjadi kebiasaan hampir mayoritas penduduk di negeri ini. Siapapun pasti
senang melakukannya, baik dengan sengaja atau tidak.
Dibalik kebiasaan
ini, mereka lupa bahwa apa yang mereka lakukan itu mengganggu pengguna jalan
yang berlalu lalang di sana, padahal Dienul Islam sebagai agama mayoritas di
negeri ini telah menyinggung hal itu sejak dulu.
Ternyata, perilaku
semacam itu sudah membudaya sejak beberapa abad yang lalu bahkan sejak sebelum
Islam. Oleh karena itu, manakala sesudah Islampun banyak para shahabat
Rasulullah yang masih melakukan hal itu, Islam memberikan solusinya.
Islam, sebagai dien
yang amat toleran dan inklusif tetapi tetap kuat memegang prinsip, tidak serta
merta melarang hal itu. Ia mengambil sikap yang transparan dan selalu membawa
solusi bagi problematika kehidupan di dunia ini dalam segala aspeknya.
Diantara sikap
transparan dan solutif itu adalah dengan tidak melarangnya seratus persen dan
mengikis habis kebiasaan itu, tetapi memberikan solusi yang terbaik sehingga
kebiasaan itu dapat dihilangkan secara bertahap, yaitu dengan memperkenalkan
kepada mereka hak yang terkait dengan jalan tersebut. Hak tersebut dalam
terminologi kekinian dapat dikatakan sebagai kode etik, dimana harus diketahui
dan dipatuhi oleh para penggunanya.
Mengenai bagaimana
sesungguhnya realitas yang dulu dialami oleh para shahabat dan apa solusi Islam
bagi para pengguna jalan, maka kajian kali ini ingin mengupas masalah tersebut.
Harapan kami, kajian
ini dapat menggugah kita semua yang tentunya pasti termasuk pengguna jalan
juga, bahkan barangkali memiliki kebiasaan yang kurang baik tersebut dulunya
dan belum mengetahui kode etik yang terkait dengannya.
Untuk itu, semoga
kajian ini bermanfaat dan sebagaimana biasa bila terdapat kesalahan dan
kekeliruan, kiranya sudi memberikan masukan yang positif dan membangun guna
perbaikan lebih lanjut.
NASKAH HADITS
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiallaahu
'anhu bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian
duduk-duduk di (pinggir-pinggir) jalan!”. Lalu mereka berkata: “wahai
Rasulullah! Kami tidak punya (pilihan) tempat duduk-duduk untuk berbicara
(disana)”. Beliau bersabda: “bila tidak bisa kalian hindari selain harus
duduk-duduk (di situ) maka berilah jalan tersebut haknya!”. Mereka berkata:
“Apa hak jalan itu, wahai Rasulullah?”. beliau bersabda: “memicingkan
pandangan, mencegah (adanya) gangguan, menjawab salam serta mengajak kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran”. (H.R. Muttafaqun ‘alaihi).
PENJELASAN KEBAHASAAN
·
Ungkapan beliau: “mâ lanâ min majâlisinâ
buddun” [kami tidak punya (pilihan) tempat duduk-duduk” maksudnya adalah
kami membutuhkan untuk duduk-duduk di tempat-tempat seperti ini, karena adanya
faedah yang kami dapatkan.
·
Ungkapan beliau : “fa a’thû ath-tharîqa
haqqahu” [berilah jalan tersebut haknya] maksudnya adalah bila kalian
memang harus duduk di jalan tersebut, maka hendaklah kalian memperhatikan etika
yang berkaitan dengan duduk-duduk di jalan dan kode etiknya yang wajib dipatuhi
oleh kalian.
·
Ungkapan beliau : “ghadl-dlul bashar”
[memicingkan pandangan] maksudnya adalah mencegahnya dari hal yang tidak
halal dilihat olehnya.
·
Ungkapan beliau : “kufful adza”
[mencegah (adanya) gangguan] maksudnya adalah mencegah adanya gangguan
terhadap pejalan atau orang-orang yang lewat disana, baik berupa perkataan
ataupun perbuatan seperti mempersempit jalan mereka, mengejek mereka dan
sebagainya.
SEKILAS TENTANG PERIWAYAT HADITS
Beliau adalah
seorang shahabat yang agung, Abu Sa’îd, Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khazrajiy
al-Anshâriy al-Khudriy. Kata terakhir ini dinisbatkan kepada Khudrah,
yaitu sebuah perkampungan kaum Anshâr.
Ayah beliau mati
syahid pada perang Uhud. Beliau ikut dalam perang Khandaq dan dalam Bai’atur
Ridlwân. Meriwayatkan dari Nabi sebanyak 1170 hadits. Beliau termasuk ahli
fiqih juga ahli ijtihad kalangan shahabat dan wafat pada tahun 74 H.
FAEDAH-FAEDAH HADITS DAN HUKUM-HUKUM TERKAIT
·
Diantara tujuan agama kita adalah untuk
mengangkat derajat masyarakat Islam kepada hal-hal yang agung, kemuliaan akhlaq
dan keluhuran etika. Sebaliknya, menjauhkan seluruh elemennya dari setiap
budipekerti yang jelek dan pekerjaan yang hina. Islam juga menginginkan
terciptanya masyarakat yang diliputi oleh rasa cinta dan damai serta mengikat
mereka dengan rasa persaudaraan (ukhuwwah) dan kecintaan.
·
Hadits diatas menunjukkan kesempurnaan
dienul Islam dalam syari’at, akhlaq, etika, menjaga hak orang lain serta dalam
seluruh aspek kehidupan. Ini merupakan tasyr’i yang tidak ada duanya dalam
agama atau aliran manapun.
·
Asal hukum terhadap hal yang berkenaan
dengan “jalan” dan tempat-tempat umum adalah bukan untuk dijadikan tempat
duduk-duduk, karena implikasinya besar, diantaranya:
1.
Menimbulkan fitnah,
2.
Mengganggu orang lain baik dengan cacian,
kerlingan ataupun julukan,
3.
Mengintip urusan pribadi orang lain,
4.
Membuang-buang waktu dengan sesuatu yang
tidak bermanfaat.
·
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam
hadits diatas memaparkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan
dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu:
1.
Memicingkan mata
dan mengekangnya dari melihat hal yang haram; sebab “jalan” juga
digunakan oleh kaum wanita untuk lewat dan memenuhi kebutuhan mereka. Jadi,
memicingkan mata dari hal-hal yang diharamkan termasuk kewajiban yang patut
diindahkan dalam setiap situasi dan kondisi. Allah berfirman:“Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q.S.
24/an-Nûr:30).
2.
Mencegah adanya
gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik
skalanya besar ataupun kecil seperti menyakitinya dengan ucapan yang tak
layak; cacian, makian, ghibah, ejekan dan sindiran. Bentuk lainnya adalah
gangguan yang berupa pandangan ke arah bagian dalam rumah orang lain tanpa
seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan tersebut; bermain bola di
halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang pengganggu bagi tuannya, dan
lainnya.
3.
Menjawab salam; para
ulama secara ijma’ menyepakati wajibnya menjawab salam. Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
pernghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…”.
(Q.S. 4/an-Nisa’: 86). Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa
hukum memulai salam adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala. Salam adalah
ucapan hormat kaum muslimin yang berisi doa keselamatan, rahmat dan keberkahan.
4.
Melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar ; ini merupakan hak peringkat keempat
dalam hadits diatas dan secara khusus disinggung disini karena jalan dan
semisalnya merupakan sasaran kemungkinan terjadinya banyak kemungkaran.
5.
Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun
as-Sunnah yang menyentuh prinsip yang agung ini, diantaranya firman Allah
Ta’ala: “dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar…”.
(Q.S. 3/Âli ‘Imrân: 104).
6.
Dalam hadits Nabi, beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam bersabda: “barangsiapa diantara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu,
maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya; yang demikian
itulah selemah-lemah iman”.
·
Banyak sekali nash-nash lain yang
menyebutkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para
pengguna jalan, diantaranya:
o
berbicara dengan baik,
o
menjawab orang yang bersin (orang yang
bersin harus mengucapkan alhamdulillâh sedangkan orang yang menjawabnya
adalah dengan mengucapkan kepadanya yarhamukallâh),
o
membantu orang yang mengharapkan bantuan,
o
menolong orang yang lemah,
o
menunjuki jalan bagi orang yang sesat di
jalan,
o
memberi petunjuk kepada orang yang dilanda
kebingungan,
o mengembalikan
kezhaliman orang yang zhalim, yaitu dengan cara mencegahnya.
(Disadur
dari kajian hadits yang ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy yang judul
aslinya adalah: “Haqq ath-Tharîq”)
Sabtu, 14/02/1423 H = 27/04/2002 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar